Nama : Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta)
Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat :Jakarta , 14 Maret 1980
Istri : (Alm.) Rahmi Rachim
Wafat :
Istri : (Alm.) Rahmi Rachim
Anak :
§
Meutia Farida
§
Gemala
§
Halida Nuriah
Gelar Pahlawan : Pahlawan Proklamator RI tahun 1986
Mohammad Hatta, biasa dikenal dengan nama Bung Hatta, lahir pada tanggal 12 Agustus 1902
di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan
keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia
delapan bulan. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah
anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah
tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan
pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon.
Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
Sebagai
bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari pentingnya arti keuangan bagi
hidupnya perkumpulan. Tetapi sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun
dari sumbangan luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa
tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin selanjutnya
menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.
Masa Studi di Negeri Belanda
Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar pada Handels Hoge School di Rotterdam. Ia mendaftar sebagai anggota Indische Vereniging.
Tahun 1922, perkumpulan ini berganti nama menjadi Indonesische Vereniging.
Perkumpulan yang menolak bekerja sama dengan Belanda itu kemudian berganti nama
lagi menjadi Perhimpunan Indonesia (PI).
Hatta juga mengusahakan agar majalah perkumpulan, Hindia Poetra,
terbit secara teratur sebagai dasar pengikat antaranggota. Pada tahun 1924
majalah ini berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi perdagangan)
pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh ujian doctoral di bidang ilmu
ekonomi pada akhir tahun 1925. Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam
PI. Tetapi waktu itu dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif.
Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar di bidang
politik.
Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih
menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan itu, ia
mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul “Economische Wereldbouw en
Machtstegenstellingen”–Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan kekuasaan. Dia
mencoba menganalisis struktur ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk
landasan kebijaksanaan non-kooperatif.
Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih menjadi
Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari perkumpulan mahasiswa
biasa menjadi organisasi politik yang mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia . Sehingga akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik
Kebangsaan Indonesia (PPPI) PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional yang berada
di Eropa.
PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir
setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima perkumpulan ini.
Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang memimpin delegasi.
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama “Indonesia ”, Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Intemasional untuk
Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak oposisi, “Indonesia ” secara resmi diakui oleh kongres. Nama “Indonesia ” untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu telah
benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi internasional.
Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman
penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu kongres
internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15 Pebruari 1927. Di kongres
ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan buruh seperti G.
Ledebour dan Edo Fimmen, serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi
negarawan-negarawan di Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz
Ramadhan Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan
Nehru mulai dirintis sejak saat itu.
Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk
memberikan ceramah bagi “Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan
Kebebasan” di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L ‘Indonesie et son Probleme de
I’ Independence (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).
Bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul
Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara selama lima setengah bulan. Pada
tanggal 22 Maret 1928, mahkamah pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya
dari segala tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan
pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan sebagai brosur
dengan nama “Indonesia Vrij”, dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia sebagai buku dengan judul Indonesia Merdeka.
Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada studinya
serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan kadang-kadang De
Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri studinya pada pertengahan tahun
1932.
Kembali ke Tanah Air
Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di
Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir tahun 1932
dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis berbagai artikel politik dan
ekonomi untuk Daulat Ra’jat dan melakukan berbagai kegiatan politik, terutama
pendidikan kader-kader politik pada Partai Pendidikan Nasional Indonesia.
Prinsip non-kooperasi selalu ditekankan kepada kader-kadernya.
Reaksi Hatta yang keras terhadap
sikap Soekarno sehubungan dengan penahannya oleh Pemerintah Kolonial
Belanda, yang berakhir dengan pembuangan Soekarno ke Ende, Flores, terlihat
pada tulisan-tulisannya di Daulat Ra’jat, yang berjudul “Soekarno Ditahan” (10
Agustus 1933), “Tragedi Soekarno” (30 Nopember 1933), dan “Sikap Pemimpin” (10
Desember 1933).
Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke
Ende, Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada Partai
Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai Pendidikan Nasional
Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke Boven Digoel. Seluruhnya berjumlah
tujuh orang. Dari kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan
Bondan. Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka, dan
Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir setahun di penjara
Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok, Hatta menulis buku berjudul
“Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”.
Masa Pembuangan Mohammad Hatta
Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di Tanah
Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana, Kapten van Langen,
menawarkan dua pilihan: bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen
sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi
buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan
dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau bekerja untuk
pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti telah menjadi orang besar
dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli
dengan gaji 40 sen sehari.
Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel
untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah
Merah dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi
oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan
demikian, Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran kepada
kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi, sejarah, dan filsafat.
Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di kemudian hari dibukukan dengan
judul-judul antara lain, “Pengantar ke Jalan llmu dan Pengetahuan” dan “Alam
Pikiran Yunani.” (empat jilid).
Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van Langen,
memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan Sjahrir dipindah ke
Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu
Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta dan
Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan memberi pelajaran
kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah, tatabuku, politik, dan
lain-Iain.
Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang
Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke
Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada
Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan Sjahrir dibawa ke Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja sama
sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa Indonesia untuk
merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan menjajah Indonesia? Kepala
pemerintahan harian sementara, Mayor Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang
tidak akan menjajah. Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam
pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri. Pengakuan Indonesia
Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai senjata terhadap Sekutu kelak.
Bila Jepang yang fasis itu mau mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak
akan mau? Karena itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan
tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.
pidato hatta di ikada |
Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara. Namun
pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada
tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan banyak kalangan. Ia mengatakan,
“Indonesia terlepas dari penjajahan imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu
ia tak ingin menjadi jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini
setajam-tajamnya. Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia
tenggelam ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang kembali.”
Proklamasi
Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,
dengan Soekarno sebagai Ketua dan Mohammad Hatta sebagai
Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia,
sembilan dari Pulau Jawa dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.
Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di rumah Admiral Maeda (JI Imam
Bonjol, sekarang), yang berakhir pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya.
Panitia kecil yang terdiri dari 5 orang, yaitu Soekarno, Hatta, Soebardjo,
Soekarni, dan Sayuti Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks
proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks proklamasi yang
ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang menuliskan kata-kata yang
didiktekannya. Setelah pekerjaan itu selesai. mereka membawanya ke ruang
tengah, tempat para anggota lainnya menanti.
Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut ditandatangi
oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta. Semua yang hadir menyambut
dengan bertepuk tangan riuh.
Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan
oleh Soekarno danMohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia,
tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.
Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai
Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi Wakil
Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto mengemukakan bahwa Presiden
dan Wakil Presiden harus merupakan satu dwitunggal.
Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha
Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah Republik Indonesia
pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali perundingan dengan Belanda
menghasilkan Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Reville, tetapi selalu
berakhir dengan kegagalan akibat kecurangan pihak Belanda.
Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung Hatta
pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma Gandhi. dengan menyamar
sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot pesawat adalah Biju Patnaik yang
kemudian menjadi Menteri Baja India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji
Desai). Nehru berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan
resolusi kepada PBB agar Belanda dihukum.
Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti. September 1948
PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi
kedua. Presiden dan Wapres ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan
Rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di mana-mana.
Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin perjuangan bersenjata.
Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang
mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk menerima
pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.
Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara Republik
Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi Wakil Presiden.
Periode Tahun 1950-1956
Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif
memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan tinggi. Dia juga tetap
menulis berbagai karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi.
Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam
konsepsi ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato radio
untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung Hatta
dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17 Juli 1953 dia diangkat sebagai
Bapak Koperasi Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di Bandung.
Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam
bukunya yang berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).
Sebagai tokoh "dwi tunggal",
keduanya sering berada pada garis yang bertentangan dan kadang sejalan.
Perbedaan pendapat antara beliau dengan Sukarno lebih kepada visi dan
pendekatan dalam mengelola negara. Puncak perbedaan itu terjadi pada tahun
1956, yaitu ketika Sukarno berpendapat bahwa revolusi belum usai, namun hatta
berpendapat sebaliknya bahwa revolusi telah berhasil dan seharusnya republik
ini sudah beranjak pada prioritas pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan
Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila parlemen dan
konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan mengundurkan diri sebagai
Wakil Presiden. Niatnya untuk mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui
sepucuk surat kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan
kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi oleh
Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua Parlemen bahwa pada
tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden
RI. Presiden Soekarno berusaha mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap
pada pendiriannya.
Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar kehormatan
akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah
Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan
yang berjudul “Lampau dan Datang”.
Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden
RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan
tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru
besar dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang
memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas
Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato
pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.
Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis “Demokrasi Kita” dalam majalah
Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena menonjolkan pandangan
dan pikiran Bung Hatta mengenai perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan
negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.
Hatta menikah dengan Rahmi Rachim pada tanggal l8 Nopember 1945 di
desa Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Mereka mempunyai tiga orang putri, yaitu
Meutia Farida, Gemala Rabi’ah, dan Halida Nuriah. Dua orang putrinya yang
tertua telah menikah. Yang pertama dengan Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua
dengan Drs. Mohammad Chalil Baridjambek. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua
cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohamad Athar Baridjambek.
Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden
Soeharto menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda
Kehormatan tertinggi “Bintang Republik Indonesia Kelas I” pada suatu upacara
kenegaraan di Istana Negara.
Bung Hatta, Proklamator Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama
Republik Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr Tjipto
Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di TPU Tanah Kusir
pada tanggal 15 Maret 1980.
Kisah teladan Bung Hatta
Pada tahun 1950-an, Bally adalah sebuah merek
sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama
RI, berminat pada sepatu itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat
alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman
tersebut. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu
terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai
taulan yang datang untuk meminta pertolongan.
Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah
terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi. Yang sangat mengharukan dari
cerita ini, guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih
tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Hatta. Pada hal,
jika ingin memanfaatkan posisinya waktu itu, sangatlah mudah bagi beliau untuk
memperoleh sepatu Bally. Misalnya, dengan meminta tolong para duta besar atau
pengusaha yang menjadi kenalan Bung Hatta. Namun, di sinilah letak keistimewaan
Bung Hatta. Ia tidak mau meminta sesuatu untuk kepentingan sendiri dari orang
lain.
Bung Hatta memilih jalan sukar dan lama, yang ternyata gagal
karena ia lebih mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri.
Pendeknya, itulah keteladanan Bung Hatta, apalagi di tengah carut-marut zaman
ini. Bung Hatta meninggalkan teladan besar, yaitu sikap mendahulukan orang
lain, sikap menahan diri dari meminta hibah, bersahaja, dan membatasi konsumsi
pada kemampuan yang ada. Kalau belum mampu, harus berdisiplin dengan tidak
berutang atau bergantung pada orang lain.
Seandainya bangsa Indonesia dapat meneladani karakter mulia proklamator kemerdekaan ini,
seandainya para pemimpin tidak maling, tidak mungkin bangsa dengan sumber alam
yang melimpah ini menjadi bangsa terbelakang, melarat, dan nista karena tradisi
berutang dan meminta sedekah dari orang asing.
- Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)
- Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School, Batavia (1921)
- Meer Uirgebreid Lagere School (MULO), Padang (1919)
- Europeesche Lagere School (ELS), Padang, 1916
- Sekolah Dasar Melayu Fort de kock, Minangkabau (1913-1916)
- Ketua Panitia Lima (1975)
- Penasihat Presiden dan Penasehat Komisi IV (1969)
- Dosen Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta (1954-1959)
- Dosen Sesko Angkatan darat, Bandung (1951-1961)
- Wakil Presiden, Perdana menteri, dan Menteri Luar Negeri NKRIS (1949-1950)
- Ketua delegasi Indonesia Konferensi Meja Bundar, Den Haag (1949)
- Wakil Presiden, Perdana Menteri, dan Menteri Pertahanan (1948-1949)
- Wakil Presiden RI pertama (1945)
- Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia (1945)
- Wakil Ketua Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (1945)
- Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (1945)
- Kepala Kantor Penasehat Bala Tentara Jepang (1942)
- Ketua Panitia Pendidikan Nasional Indonesia (1934-1935)
- Wakil Delegasi Indonesia Liga Melawan Imperialisme dan Penjajahan, Berlin (1927-1931)
- Ketua Perhimpunan Indonesia, Belanda (1925-1930)
- Bendahara Jong Sumatranen Bond, Jakarta (1920-1921)
- Bendahara Jong Sumatranen Bond, Padang (1916-1919)
- Partai Nasional Indonesia
Organisasi:
- Club pendidikan Nasional Indonesia
- Liga menentang Imperialisme
- Perhimpunana Hindia
- Jong Sumatranen Bond
- Pahlawan Nasional
- Bapak koperasi Indonesia
- Doctor Honoris Causa, Universitas Gadjah Mada, 1965
- Proklamator Indonesia
- The Founding Father's of Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar