Sejak menjadi kesultanan yang merdeka dari Kesultanan Aceh, Kesultanan Siak (1858), dan Belanda (1861), Kesultanan Deli memiliki hak penuh untuk mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Melihat peluang tersebut, sultan yang berkuasa saat itu, Sultan Mahmud Al Rasyid (1858-1873), membuat langkah yang sangat strategis yaitu dengan memberikan hak pemanfaatan lahan kepada Belanda. Belanda yang memiliki pengetahuan dan kemampuan lebih baik dalam melihat potensi dan pengelolaan lahan, memanfaatkan lahan-lahan yang dikuasainya untuk membuka perkebunan tembakau. Ternyata, tembakau Deli sangat diminati oleh orang-orang Eropa. Sejak saat itulah, secara perlahan perekomian Deli semakin hari semakin membaik. Puncak dari pencapaian kegemilang dalam bidang ekonomi Kesultanan Deli dicapai pada masa kepemimpinan Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924).
Pencapaian
Tapak kegemilangan dalam bidang ekonomi kepemimpinan Sultan Ma'moen Al
Rasyid dapat kita saksikan melalui bangunan-bangunan peninggalan
Kesultanan Deli yang hingga saat ini masih terlihat megah dan mewah,
salah satunya adalah Masjid Raya Al Mashun. Konon, lokasi masjid ini
pada awalnya berada tidak jauh dari kompleks istana tempat sultan dan
keluarganya tinggal. Namun, kompleks istana sultan saat ini sudah tidak
lagi karena dalam revolusi sosial yang terjadi di kawasan Sumatra
bagian timur tahun 1946, bangunan istana tersebut dibakar dan isinya
dijarah masa.
Masjid
Raya Al Mashun merupakan salah satu peninggalan Sultan Ma'moen Al
Rasyid Perkasa Alam (1873-1924) yang sangat monumental dan memiliki
nilai sejarah yang sangat tinggi. Masjid dengan luas bangunan sekitar
5000 m2 dan dibangun di atas lahan seluas 18.000 m2
ini memerlukan waktu tiga tahun untuk menyelesaikannya, yaitu mulai 1
Rajab 1324 H (21 Agustus 1906 M), sampai 25 Sya'ban 1329 H (10
September 1909), serta digunakan kali pertama pada 19 September 1909.
Jika dilihat dari tanggal pembangunannya tersebut, maka masjid yang
dirancang oleh Dingemans dari Belanda ini telah berumur lebih dari 1
abad, sehingga termasuk salah satu bangunan tertua di Kota Medan.
Sebagai
bangunan tua, Pemkot Medan dan Pengelola Masjid Raya Al Mashun
memberikan penangangan khusus terhadap masjid ini. Di sebuah papan yang
berada dipintu gerbang masuk kompleks masjid misalnya, para pengunjung
hendak memasuki masjid di"warning" agar tidak melakukan tujuh
hal, yaitu dilarang masuk bagi segala jenis kendaraan, dilarang memakai
alas kaki, dilarang berjualan di dalam kompleks, dilarang bermain
segala jenis olahraga, dilarang meludah di atas lantai, dilarang
membuang sampah sembarangan, dan dilarang merokok. Bagi yang melakukan
ketujuh larangan tersebut, akan dituntut melanggar pasal 406 ayat 1 KUHP, dengan ancaman 2 tahun dan 8 bulan penjara.
Sejak
dibangun sampai saat ini, Masjid Raya Al Mashun belum pernah
direnovasi atau dipugar. Menurut salah seorang pengelola masjid,
Pemerintah Daerah Sumatra Utara pernah merencanakan renovasi
bagian-bagian Masjid Raya Al-Mashun yang telah rusak dimakan usia dan
perluasan agar dapat menampung jama'ah lebih banyak. Namun karena
ditentang oleh banyak kalangan yang khawatir nilai-nilai seni dari gaya
arsitektur asli bangunan ini hilang, akhirnya pemerintah daerah hanya
menambah sarana penunjang masjid, seperti penambahan tempat wudhu
wanita (1980), tanpa mengotak-atik bangunan utamanya. Itulah sebabnya,
bangunan masjid tua ini masih tetap utuh seperti bentuk aslinya ketika
dibangun lebih dari seabad silam.
Masjid
Raya Al Mashun yang menjadi salah satu ikon Medan sebagai "kota tua",
bukan sekedar bangunan tua yang memiliki bentuk dan gaya arsitektur,
serta ragam hias yang unik, tetapi juga merupakan manifestasi dari
ketaatan dan kepatuhan Sultan Deli dan rakyatnya kepada Tuhan yang maha
kuasa. Dengan melihat bentuk dan segala macam ragam hias yang memenuhi
bangunan masjid, pengunjung akan terkagum-kagum terhadap pencapaian
seni arsitektur pada masa kejayaan Kesultanan Deli. Dengan melihat
keseluruhan bangunan Masjid Raya Al Mashun, kita akan menyadari betapa
Islam telah berkembang pesat saat itu dengan nilai-nilai keislaman
sebagai pegangan hidup Sultan Deli beserta rakyatnya.
Aura
Masjid Raya Al Mashun sebagai bangunan yang mengandung nilai sejarah
sangat penting sudah akan terasa sebelum para pengunjung melewati pintu
gerbang masjid. Sebuah papan di pintu gerbang masjid bertuliskan "Anda
Memasuki Kawasan Wajib Berbusana Muslim" dan di bawahnya tertera tujuh
tindakan yang terlarang dilakukan di area kompleks masjid, semakin
menambah aura kesakralan masjid.
Begitu
melewati pintu gerbang, para pengunjung akan mendapat suguhan
pemandangan yang sangat luar biasa indah, yaitu bangunan eksotik Masjid
Raya Al Mashun yang terlihat sangat megah dalam usianya yang melampaui
satu abad. Saat kali pertama melihat bangunan ini, pengunjung akan
segera mengetahui bahwa bentuk dasar masjid ini berbeda dengan
masjid-masjid pada umumnya. Jika biasanya masjid berbentuk segi empat
sehingga berbentuk seperti kotak, maka Masjid Raya Al-Mashun kelihatan
berbentuk bundar. Pada saat Anda memasuki dan mengelilingi masjid ini,
maka anda akan mengetahui bahwa Masjid Raya Al-Mashun memang berbentuk
bundar bersegi delapan dengan 4 serambi utama - di depan, belakang,
samping kiri dan kanan, yang sekaligus menjadi pintu utama masuk ke
masjid.
Ornamen-ornamen
yang menghiasinya sisi luar gedung dengan lima buah kubah berwarna
hitam di atasnya menjadikan arsitektur masjid menjadi semakin kelihatan
artistik. Satu kubah berukuran paling besar terletak persis di tengah,
di atas ruang utama, dan empat kubah lainnya yang lebih kecil berada
pada keempat sisi sayapnya, sehingga seolah-olah mengapit kubah utama.
Di atas masing-masing kubah berwarna hitam tersebut terdapat sebuah
ornamen penghias yang menjadi simbol Islam, yaitu bulan sabit.
Dengan
memperhatikan secara seksama bentuk bangunan tersebut, maka pengunjung
akan mengetahui bahwa arsitektur Masjid Raya Al-Mashun merupakan
kombinasi sari arsitektur bergaya Arab, India, Spanyol, dan Melayu.
Perpaduan desain arsitektural tersebut menghasilkan sebuah dimensi
nilai bangunan yang tidak saja artistik, tetapi juga mengandung nilai
estetika dan etika yang tinggi. Sungguh sebuah masjid yang sangat unik
dan sarat makna.
Pelajaran
tentang tata arsitektur yang sesuai dengan kondisi alam Medan pada
khususnya, dan alam tropis pada umumnya, akan segera didapat oleh para
pengunjung begitu melewati pintu utama masjid. Hawa panas di luar
masjid, sebagaimana hawa panas kota Medan pada siang hari, akan lenyap
tidak terasa dan berganti hawa sejuk begitu kaki melangkah melewati
pintu masjid. Hawa sejuk tersebut tidak disebabkan oleh keberadaan AC (Air Conditioner)
sebagaimana biasa kita temui dalam gedung-gedung pencakar langit,
tetapi dari arus sirkulasi udara yang secara lancar melewati
lubang-lubang besar pada dinding masjid. Ruangan yang sangat lebar
dengan jarak lantai ke atap yang sangat tinggi, memungkinkan terjadinya
perputaran udara secara optimal, sehingga ruangan selalu sejuk. Desain
arsitektur yang ramah lingkungan seperti Masjid Raya Al-Mashun, saat
ini semakin ditinggalkan. Kita lebih tertarik mencopy paste desain arsitektur barat yang nota bene kurang cocok untuk alam tropis.
Di
bagian dalam masjid, pengunjung akan menyaksikan batu marmer menjulang
tinggi berdiameter 0,60 m sebanyak 8 buah yang dijadikan sebagai pilar
utama dan menjadi penyangga kubah utama pada bagian tengah. Keempat
pintu utama dan 8 buah jendela serambi terbuat dari ukiran kayu jenis
merbau bergaya seni tinggi. Belum lagi dengan ukiran dan hiasan ornamen
khas Melayu Deli pada setiap sudut bangunan, yang serta merta
melahirkan nilai-nilai sakral religius yang teramat dalam bagi tiap
orang yang memasukinya. Mata pengunjung akan semakin takjub ketika
melihat lukisan dan ragam hias yang memenuhi dinding bagian dalam
masjid, dari kaki dinding hingga puncak kubah.
Di
bagian dalam masjid, pengunjung juga akan menyaksikan dua buah dua buah
mimbar yang terbuat dari batu marmer. Satu mimbar berada di bagian
depan dan digunakan sebagai tempat menyampaikan khutbah. Satu mimbar
yang lain berada di belakang, dan digunakan sebagai tempat
mengumandangkan adzan. Kedua mimbar yang dipenuhi berbagai macam
ornamen dan hiasan tersebut menjadikan ruangan di dalam masjid ini
terasa begitu mewah.
Pada
bulan Ramadhan, suasana di Masjid Raya ini menjadi jauh lebih semarak dibanding
hari-hari biasa. Kegiatan ibadah tidak hanya berlangsung siang hari, melainkan
juga malam hari hingga menjelang waktu sahur. Siang disisi dengan
kegiatan muzakarah, diskusi tentang hukum sya’ri Islam, ceramah Ramadhan, dan
berbagai kegiatan pengkajian Islam lainnya.
Pada malam hari kegiatannya berupa shalat Tarawih dan Tadarrus Al-Qur’an hingga larut malam hingga sampai dini hari saat sahur tiba. Selain itu, untuk menghidupkan suasana di komplek masjid, pengurus juga menyiapkan makanan bukaan setiap sore dari sumbangan para dermawan dan masyarakat sekitar masjid. Makanan berbuka yang disiapkan hingga 300 - 500 orang tersebut khusus bagi anak-anak yatim, gelandangan, dan kaum musafir yang jauh dari rumahnya saat waktu berbuka tiba. Hidangan khas di masjid ini adalah sajian bubur pedas khas masjid Raya Al Mashun.
Pada malam hari kegiatannya berupa shalat Tarawih dan Tadarrus Al-Qur’an hingga larut malam hingga sampai dini hari saat sahur tiba. Selain itu, untuk menghidupkan suasana di komplek masjid, pengurus juga menyiapkan makanan bukaan setiap sore dari sumbangan para dermawan dan masyarakat sekitar masjid. Makanan berbuka yang disiapkan hingga 300 - 500 orang tersebut khusus bagi anak-anak yatim, gelandangan, dan kaum musafir yang jauh dari rumahnya saat waktu berbuka tiba. Hidangan khas di masjid ini adalah sajian bubur pedas khas masjid Raya Al Mashun.