Banyak orang mengernyitkan dahi saat coba mengingat kapan Inggris
terakhir kali bertemu Italia. Walau bukan rival berat seperti
Jerman-Belanda, Italia dan Inggris punya sisi menarik dari perbedaan
kental akan filosofi sepakbola.
Bukan hal mengherankan ketika
Italia memastikan diri bertemu Inggris di perempat final. Ya, rivalitas
keduanya bukan seperti rivalitas antara Jerman-Belanda yang
dilatarbelakangi sejarah perang dunia. Pun bukan seperti
Argentina-Brasil yang memperebutkan status negara penguasa sepakbola di
satu benua.
Walau kedua negara ini menjadi kiblat sepakbola
Eropa dan dunia, Inggris dan Italia sendiri jarang dipertemukan di level
kompetisi tertinggi. Rivalitas sonder pertemuan. Sepi.
Tapi,
bukan berarti partai perempat final kali ini tidak menghadirkan tensi
tinggi antara keduanya. Perbedaan filosofi sepakbola acap kali
mengakibatkan suporter negara-negara ini beradu argumen dan saling
mencerca.
Fans dan jurnalis Inggris sering memberi label pada
sepakbola Italia sebagai sepakbola yang kotor, malas, defensif, dan
penuh kecurangan. Sementara suporter dan media Italia menilai Inggris
memainkan sepakbola yang terlalu naif dan jujur.
Utopia versus Realisme
Kultur
di atas lapangan, atau di tribun stadion, tak bisa lepas dari budaya
yang berkembang di masyarakat bersangkutan. Sebagian nilai dalam
sepakbola Inggris berasal dari nilai etika protestan yang memiliki
respek akan hukum dan peraturan. Nilai-nilai yang sama mengajarkan bahwa
kerja keras dan kejujuran adalah nilai tertinggi yang dapat dimiliki
oleh seseorang.
Sementara Italia memiliki kultur berbeda, yaitu
kultur yang mengenal konsep peraturan adalah konsep relatif. Bahwa
perbedaan antara kebenaran dan kebohongan, antara fair-play dan
kecurangan, tidak selamanya hitam dan putih. Ada ruang-ruang untuk
imajinasi dan interpretasi di sana.
Perbedaan nilai-nilai inilah yang menjadikan kedua negara melihat pertarungan di lapangan hijau dengan dua kacamata berbeda.
Suporter
Inggris sering menyamakan pertarungan di lapangan layaknya duel;
pertarungan sampai mati. Saat Inggris pergi berperang, mereka pergi
dengan prinsip lebih baik mati dari pada menyerah di medan perang.
Kalaupun kalah, mereka akan mati dengan tenang jika mengetahui bahwa
mereka telah berjuang dengan jujur dan memberikan segalanya. Nilai-nilai
yang sama juga dipegang oleh kelas pekerja sosialis di Inggris.
Sementara
Italia, dan banyak negara Latin lainnya, melihat sepakbola sebagai
pertarungan di hutan rimba, di mana mempertahankan diri dinilai lebih
penting daripada nilai-nilai. Mereka akan menggunakan segalanya untuk
tidak kalah, bahkan jika itu berarti bermain di daerah abu-abu.
Maka
jangan heran jika tipe sepakbola yang Italia usung adalah sepakbola
yang penuh kalkulasi dan strategi. Pesepakbola Italia bertarung tidak
hanya dengan kakinya, tapi juga dengan otaknya, dengan imajinasinya,
dengan emosinya, dengan hatinya, dengan tangannya, bahkan dengan
matanya.
Mereka akan menghitung kelemahan terbesar lawan dan
mengeksploitasinya, walau itu dilakukan dengan mengacaukan emosi dan
psikologis musuhnya.
Andrea Tallarita, dalam kolom brilliannya
“Understanding Italian Football", mengilustrasikan kedua perbedaan kultur ini dengan baik. Orang Inggris memiliki
Sir
Gawain, keponakan Raja Arthur dan salah seorang ksatria meja bundar
terhebat, sebagai pahlawan. Sementara Italia mengidolai Ulysses,
penasihat raja Ithaca yang cerdik dan berhasil menang dalam perang
karena trik tipuan kuda Troya-nya.
Kultur sepakbola yang satu
akan selalu berjuang mencapai utopia yaitu saat kemenangan dicapai
melalui kejujuran. Sementara kultur yang lain mengakar pada realita.
Pertarungan di lapangan: Fantasisti versus Pemain Sayap

Kata
"imajinasi" mungkin jadi kata yang tepat untuk menggambarkan filosofi
sepakbola Italia di lapangan. Hal ini dikarenakan kultur sepakbola
mereka, yang sarat dengan taktik dan kalkulasi, memaksa tim-tim Italia
untuk memiliki imajinasi untuk membongkar strategi.
Adalah peran seorang
fantasisti,
yang secara harafiah diartikan sebagai "pekerja imajinasi", untuk
menyediakan kreativitas di lapangan. Mereka yang diberi anugrah
kemampuan sebagai seorang fantasisti bahkan dianggap setengah dewa oleh
suporter Italia. Dari masa ke masa Italia pun telah menghasilkan
fantasisti yang selalu dikenang seperti Gianni Rivera, Gigi Meroni, Roberto Baggio, Francesco Totti, atau Alessandro Del Piero.
Fantasisti
sendiri bukan merupakan satu posisi khusus yang ditempati oleh seorang
pemain. Lewat kolomnya lagi, Andrea Tallarita menjabarkan bahwa
fantasisti adalah kemampuan seorang pemain untuk melihat kapan saat
jendela kesempatan, untuk menyergap lawan secara tiba-tiba, terbuka.
Bak seorang pesulap yang mengubah tongkat menjadi bunga dalam sekejap mata, seorang
fantasisti
dapat menipu lawannya untuk melakukan gerakan atau koreografi yang tak
terduga. Di Piala Eropa ini perhatikanlah Antonio Cassano. Berbeda
dengan Pirlo, sering kali umpan atau tendangan yang Cassano lakukan
bukan lahir secara metodik. Seolah berontak pada aturan kapan dan
bagaimana suatu umpan harus dilakukan.
Walau tak memiliki
padanan kata dalam bahasa lain, fantasisti sendiri tidak dimonopoli
pemain berkebangsaan Italia. Rui Costa, Zinedine Zidane, Yuri Djorkaef,
atau Kaka, datang ke Seri A kemudian pulang dengan meninggalkan jejak
sebagai fantasisti yang akan selalu dikenang.
Namun, dalam sejarah panjang sepakbola Inggris, kehadiran
fantasisti asli Inggris sendiri dapat dihitung dengan sebelah tangan. Matt Le Tissier dan Paul Gascoigne adalah beberapa di antaranya.
Berbeda
dengan Italia, peran dalam permainan sepakbola Inggris berasal dari
pakem tradisional yang sulit tergantikan hingga saat ini.
Aturannya
mudah: pemain bertubuh besar digunakan sebagai striker utama dan pemain
tengah. Pemain dengan kecerdasan tinggi ditempatkan sebagai striker
kedua. Pemain yang sulit untuk dijatuhkan melakoni peran sebagai pemain
belakang, dan pemain dengan kecepatan tinggi diposisikan sebagai pemain
sayap.
Pakem-pakem ini menyebabkan Inggris menghasilkan
tipe-tipe pesepakbola yang sama dari generasi ke generasi. Salah satunya
adalah pemain sayap.
Selain Portugal, di Eropa Inggris memang
jadi negara yang rutin menghasilkan pemain sayap, baik itu pemain sayap
murni (pemain berkaki kanan ditempatkan di sayap kanan, dan sebaliknya),
maupun
winger yang bergerak menusuk ke dalam atau lebih dikenal dengan
inverted winger.
Generasi
saat ini mengenal nama-nama seperti Ashley Young, James Milner, Stewart
Downing, Theo Walcott, atau Adam Johnson. Sementara pada periode 90-an
ada David Beckham, Ryan Giggs (dibesarkan di Liga Inggris), Steve
Mcmanaman, ataupun John Barnes.
Pemain sayap ini digadang-gadang
menjadi kunci kesuksesan sebuah klub yang ingin merajai Liga Inggris.
Salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan Alex Ferguson di
Manchester United. Walau membuang David Beckham dari klubnya, Ferguson
tak pernah gagal menghadirkan kembali serentetan pemain sayap kelas
dunia di Manchester. Mulai dari Giggs, Cristiano Ronaldo, Nani, hingga
kini Ashley Young berhasil ia didik. Beberapa di antaranya mampu membawa
MU meraih piala demi piala di Liga Inggris.
Seperti halnya Inggris yang jarang memproduksi seorang
fantasisti, sepakbola Italia pun jarang menghasilkan seorang pemain sayap. Paling banter tim-tim Italia menggunakan
seconda punta (striker kedua), yang memiliki kecepatan tinggi, sebagai penyerang yang ditempatkan di sayap dalam formasi 4-3-3.
Hal
ini juga diperparah dengan diadopsinya formasi 4-2-3-1 dan 4-3-1-2 oleh
klub-klub serie-A dalam satu dekade terakhir. Formasi ini
menitikberatkan pada peran central-midfielder sehingga para pemain sayap
jarang mendapatkan panggung.
Walau kehadiran pemain sayap
Inggris pada Piala Eropa ini kurang bersinar, setidaknya ada 4 gol
Inggris berasal dari area sayap kanan lapangan. Di kubu Italia sendiri
peran sentral Cassano dalam membuka ruang dan memberikan umpan matang
pada Balotelli tak terbantahkan.
Menarik untuk diamati apakah
kedua kulminasi kultur sepakbola yang berbeda ini dapat jadi titik awal
rivalitas panjang antara Inggris dan Italia.
<sumber>